Senin, 11 Agustus 2014

Dunia Bocah






“Yuk koran yuk, seribu bae, belilah yuuk.” (Kak, koran kak, seribu aja, belilah kak). Dengan nada merayu si kecil menyodorkan sebundel koran kepadaku. Bukan hanya sekali ini saya menjumpai bocah-bocah lugu itu, bahkan hampir setiap kali ketika saya naik bis kota, saya sering bertemu dengan mereka walau dengan wajah yang berbeda-beda.

Seketika prasangka menyerbu ruang kepala, “Anak siap sih mereka ini?, Mana orang tuanya?, Nih anak-anak sekolah nggak sih?.” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku semakin bingung. Terkadang saya membeli koran yang mereka jual, tapi bukan berarti saya benar-benar membutuhkan koran tersebut, melainkan karena rasa tidak tega, kasihan.

Mereka, yang seharusnya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan belajar dan bermain, malah digunakan untuk mengais rezeki yang belum saatnya mereka lakukan. Ketika anak-anak lain sedang bermain mobil-mobilan, play-station, mengaji, les, dll. Mereka malah bermain dengan asap-asap knalpot, klakson mobil, dan lampu merah yang tiba-tiba menjadi hijau.

***

“Mak, asoy mak, seribu.” (Bu kantong bu, seribu). Beberapa bocah menghapiri kami (Aku & Ibu) ketika kami sedang belanja di salah satu pasar tradisional di Palembang. Bocah-bocah kecil baik laki-laki dan perempuan, merayu dengan sedikit ‘memaksa’ agar kami membeli kantong yang mereka jajakan. Kadangkala ketika kami benar-benar membutuhkan, kami membeli kantong tersebut.

Kantong plastik hitam atau kantong kresek itu terikat kuat di pinggang mereka, jika ada orang yang mau membeli, secepat kilat mereka menariknya dan menadahkannya kepada calon pembeli. Harganya seribu rupiah per lembar, entah harus berapa kali mereka melakukan hal yang sama setiap harinya. Mencari target pembeli, menawarkan, dan mendapatkan uang. Hatipun berkata, “Berapa lembar kantong yang kalian jual dan berapa untung yang kalian dapatkan seharian ini?.”

***

“Yuk sini yuk dengan aku.” (Kak, kesini kak denganku). Teriakan bocah-bocah itu cukup menghentak telingaku, belum sempat kaki ini menginjak tanah (turun dari mobil), payung mereka sudah berada di atas kepalaku. Menawarkan payung-payung mereka untuk mengiringi kemana kaki ini melangkah. Sementara yang kulihat adalah wajah-wajah pucat menggigil sedang melemparkan senyum dan peruh harap. Saya tahu maksud mereka, berharap ada lembaran-lembaran rupiah yang saya berikan kepadanya.

“Kalian itu sedang mencari uang atau mencari penyakit?.” Ujarku dalam hati, tapi kalimat ini tak mungkin saya ucapkan kepada mereka. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri kenapa mereka melakukan itu. Apakah terpakasa, butuh, atau hobi?

***

Ini kejadian ketika saya masih SD, ketika kapal Ferry yang kami tumpangi merapat di pelabuhan. Saya melihat bocah-bocah kecil lompat dari dermaga. “Apa yang sedang mereka lakukan?.” Ditempat yang sama saya melihat orang-orang dewasa sedang melempar uang kertas dan koin ke sungai tepi dermaga? Ternyata, saya melihat atraksi mencengangkan. Beberapa anak terjun ke sungai untuk menangkap rupiah-rupiah yang dilempar tersebut?. “Waduh, adik-adik, kok sebegitunya sih kalian mencari uang sampai harus bertaruh nyawa.” Menurut saya sih itu aksi yang berbahaya, ya karena saya tidak pernah melihat kejadian seperti itu. Tapi, mungkin tidak menurut mereka. Bisa jadi ini sudah menjadi pekerjaan mereka sehari-hari? I don’t know laaa!

***

Well, terakhir ini cerita tentang seorang gadis kecil yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Waktu bulan ramadhan kemarin, bocah ini keliling di sekitar kampung saya untuk menjajakan kue takjil. Suatu ketika, Ibu saya datang ke rumahnya untuk membeli kue dan mendengarkan percakapan atara ibu dan anak, Ibu si gadis berkata kepada anaknya, “Ayo nak kita jualan kue di depan sana”. Si anak menjawab, “Nggak usahlah mak, biar aku aja yang keliling jual kue itu.” Ibunya menyahut, “Apa kamu nggak malu jualan kue itu?”. Si anak menjawab lagi, “Kenapa mesti malu, kan nggak mencuri.” Masyaallah, ini bukanlah ucapan anak-anak biasa. Jarang sekali kita mendapati anak SD yang berfikir sedewasa itu.

***

Beberapa kisah nyata di atas merupakan kejadian yang tidak biasa kita saksikan di sekitar kita. Dunia bocah, yang selama ini kita indentikkan dengan dunia bermain dan belajar. Ternyata diluar sana, tidak se ideal yang kita pikirkan. Ada beberapa kisah yang membuat kita prihatin dan sedih namun ada juga beberapa kisah yang menginspirasi dari bocah-bocah tersebut.

Dari realita yang ada di lapangan, terkhusus masalah bocah-bocah yang tidak mendapatkan hak yang semestinya mereka dapatkan. Bermain, belajar, dan sekolah. Merupakan PR kita bersama. Semua pihak, bukan hanya orang tua, namun pemerintah dan masyarakat sekitar mereka. Mereka harus memilki hak yang sama seperti anak-anak pada umumnya. Menikmati fase hidup sesuai usianya. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan menjadi tonggak masa depan.

Semoga kisah-kisah diatas dapat menjadi pelajaran buat kita semua agar lebih sensitif terhadap fenomena sosial yang ada di sekitar kita. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. See you!

Cek Noer
Palembang, 11 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar