“Yuk koran yuk, seribu bae,
belilah yuuk.” (Kak, koran kak, seribu aja, belilah kak). Dengan nada
merayu si kecil menyodorkan sebundel koran kepadaku. Bukan hanya sekali ini
saya menjumpai bocah-bocah lugu itu, bahkan hampir setiap kali ketika saya naik
bis kota, saya sering bertemu dengan mereka walau dengan wajah yang
berbeda-beda.
Seketika prasangka menyerbu ruang
kepala, “Anak siap sih mereka ini?, Mana orang tuanya?, Nih anak-anak
sekolah nggak sih?.” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku semakin
bingung. Terkadang saya membeli koran yang mereka jual, tapi bukan berarti saya
benar-benar membutuhkan koran tersebut, melainkan karena rasa tidak tega,
kasihan.
Mereka, yang seharusnya
menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan belajar dan bermain, malah digunakan
untuk mengais rezeki yang belum saatnya mereka lakukan. Ketika anak-anak lain
sedang bermain mobil-mobilan, play-station, mengaji, les, dll. Mereka malah
bermain dengan asap-asap knalpot, klakson mobil, dan lampu merah yang tiba-tiba
menjadi hijau.
***
“Mak, asoy mak, seribu.” (Bu
kantong bu, seribu). Beberapa bocah menghapiri kami (Aku & Ibu) ketika
kami sedang belanja di salah satu pasar tradisional di Palembang. Bocah-bocah
kecil baik laki-laki dan perempuan, merayu dengan sedikit ‘memaksa’ agar kami
membeli kantong yang mereka jajakan. Kadangkala ketika kami benar-benar membutuhkan,
kami membeli kantong tersebut.
Kantong plastik hitam atau
kantong kresek itu terikat kuat di pinggang mereka, jika ada orang yang mau
membeli, secepat kilat mereka menariknya dan menadahkannya kepada calon
pembeli. Harganya seribu rupiah per lembar, entah harus berapa kali mereka melakukan
hal yang sama setiap harinya. Mencari target pembeli, menawarkan, dan
mendapatkan uang. Hatipun berkata, “Berapa lembar kantong yang kalian jual
dan berapa untung yang kalian dapatkan seharian ini?.”
***
“Yuk sini yuk dengan aku.” (Kak,
kesini kak denganku). Teriakan bocah-bocah itu cukup menghentak telingaku,
belum sempat kaki ini menginjak tanah (turun dari mobil), payung mereka sudah
berada di atas kepalaku. Menawarkan payung-payung mereka untuk mengiringi
kemana kaki ini melangkah. Sementara yang kulihat adalah wajah-wajah pucat
menggigil sedang melemparkan senyum dan peruh harap. Saya tahu maksud mereka,
berharap ada lembaran-lembaran rupiah yang saya berikan kepadanya.
“Kalian itu sedang mencari uang
atau mencari penyakit?.” Ujarku
dalam hati, tapi kalimat ini tak mungkin saya ucapkan kepada mereka. Tentu
mereka memiliki alasan tersendiri kenapa mereka melakukan itu. Apakah
terpakasa, butuh, atau hobi?
***
Ini kejadian ketika saya masih
SD, ketika kapal Ferry yang kami tumpangi merapat di pelabuhan. Saya melihat
bocah-bocah kecil lompat dari dermaga. “Apa yang sedang mereka lakukan?.” Ditempat
yang sama saya melihat orang-orang dewasa sedang melempar uang kertas dan koin
ke sungai tepi dermaga? Ternyata, saya melihat atraksi mencengangkan. Beberapa
anak terjun ke sungai untuk menangkap rupiah-rupiah yang dilempar tersebut?. “Waduh,
adik-adik, kok sebegitunya sih kalian mencari uang sampai harus bertaruh
nyawa.” Menurut saya sih itu aksi yang berbahaya, ya karena saya tidak
pernah melihat kejadian seperti itu. Tapi, mungkin tidak menurut mereka. Bisa
jadi ini sudah menjadi pekerjaan mereka sehari-hari? I don’t know laaa!
***
Well, terakhir ini cerita tentang
seorang gadis kecil yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Waktu bulan
ramadhan kemarin, bocah ini keliling di sekitar kampung saya untuk menjajakan
kue takjil. Suatu ketika, Ibu saya datang ke rumahnya untuk membeli kue dan
mendengarkan percakapan atara ibu dan anak, Ibu si gadis berkata kepada
anaknya, “Ayo nak kita jualan kue di depan sana”. Si anak menjawab, “Nggak
usahlah mak, biar aku aja yang keliling jual kue itu.” Ibunya menyahut, “Apa
kamu nggak malu jualan kue itu?”. Si anak menjawab lagi, “Kenapa mesti
malu, kan nggak mencuri.” Masyaallah, ini bukanlah ucapan anak-anak biasa.
Jarang sekali kita mendapati anak SD yang berfikir sedewasa itu.
***
Beberapa kisah nyata di atas
merupakan kejadian yang tidak biasa kita saksikan di sekitar kita. Dunia bocah,
yang selama ini kita indentikkan dengan dunia bermain dan belajar. Ternyata
diluar sana, tidak se ideal yang kita pikirkan. Ada beberapa kisah yang membuat
kita prihatin dan sedih namun ada juga beberapa kisah yang menginspirasi dari
bocah-bocah tersebut.
Dari realita yang ada di
lapangan, terkhusus masalah bocah-bocah yang tidak mendapatkan hak yang semestinya
mereka dapatkan. Bermain, belajar, dan sekolah. Merupakan PR kita bersama.
Semua pihak, bukan hanya orang tua, namun pemerintah dan masyarakat sekitar
mereka. Mereka harus memilki hak yang sama seperti anak-anak pada umumnya.
Menikmati fase hidup sesuai usianya. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang
akan menjadi tonggak masa depan.
Semoga kisah-kisah diatas dapat menjadi
pelajaran buat kita semua agar lebih sensitif terhadap fenomena sosial yang ada
di sekitar kita. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia
lainnya. See you!
Cek Noer
Palembang, 11 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar