A : Gimana
keadaan disana?
B : Nggak
enak ah sama orang-orang disana, nggak ramah, aku dicuekin.
A:
Udah ketemu sama ustadzahnya?
B : Belum,
kemarin cuma ketemu sama murid-muridnya. Tapi aku malah ditanya macem-macem
sama mereka.
Dua
percakapan diatas adalah bukti nyata yang saya temui dari beberapa teman yang
mengalami ‘cedera’ dalam mengawali proses tholabul ilmi. Namun ‘cedera’ ini
bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari orang-orang yang seharusnya
membantu tapi malah menjadi penyebab ‘cedera’ yang di alami teman-teman kita
tersebut.
Cedera
yang dimakud bukanlah cedera fisik/lahiriah. Tapi cedera psikis/batin yang
mengakibatkan dampak fatal bagi korbannya. Cedera yang dianggap ringan tapi
sebenarnya berat. Cedera yang mengakibatkan korbannya mundur sebelum melangkah.
Dakwah
adalah sebuah jalan hidup yang sangat indah. Jalan dakwah bukan hanya milik
para ulama, da’i ataupun asatidz. Namun jalan dakwah adalah milik kita semua.
Siapa pun bisa menjadi seorang pendakwah tanpa terkecuali. Asalkan yang
didakwahkan adalah kebenaran dan sesuai dengan tuntunan. Namun dalam proses
penyampaian dakwah tidak selamanya berjalan mulus, terkadang kita harus
menginjak kerikil-kerikil tajam dalam perjalanan dakwah.
Salah
satu kerikil tajam yang sering terinjak pada langkah pertama di jalan dakwah
ialah Komunikasi Dakwah.Yaitu sebuah proses penjajakan kepada mad’u (orang
yang di dakwahi) melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Atau dalam
bahasa gaulnya PDKT.
Komunikasi
sangat berperan penting dalam proses PDKT. Karena komunikasi yang baik akan
dapat mengikat hati seseorang sebelum kita menyampaikan maksud yang sebenarnya.
Oleh karena itu kita harus mempelajari bebagai macam ilmu komunikasi yang baik
dalam mengawali dakwah kita. Salah satunya dengan rumus 3S. Senyum, Salam,
dan Sapa.
Dakwah
bukanlah sesuatu yang kaku. Dakwah bukan hanya penyampaian ceramah/khotbah yang
dilakukan oleh seorang ustadz di atas mimbar. Dakwah lebih luas daripada itu.
Dakwah itu fleksibel. Ia bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Khususnya kita sebagai masyarakat yang masih awam pun dapat berdakwah sesuai
kemampuan kita. Mungkin tidak harus dengan ceramah/tausiyah. Sekedar memberikan
senyuman, salam, dan sapaan. Itu pun sudah termasuk dakwah. Dan kali ini kita
akan memfokuskan pada komunikasi dakwah yang tampak ringan namun dapat memberikan
dampak yang sangat besar. Yaitu senyum, salam, dan sapa.
Senyum
adalah tanda kemesraan dan kasih sayang. Setiap manusia pasti senang jika ia mendapatkan
senyuman. Apalagi bagi orang-orang yang baru kita kenal. Mereka akan merasa
sangat dihargai dan simpati kepada kita. Ketika orang sudah simpati kepada
kita, maka mereka akan dengan senang hati mendengarkan ucapan kita. Sehingga
kita bisa melanjutkan ke proses selanjutnya yaitu, memberikan ucapan salam.
Salam,
ucapan salam adalah sebuah penghormatan dan doa kepada orang yang kita temui.
Dan kitapun akan merasa senang jika orang yang kita berikan salam menjawab
salam kita dengan senang hati. Ketika ucapan salam telah tersampaikan, maka
akan sangat mudah bagi kita menyapanya dan mengawali percakapan dengannya.
Mulailah dengan percakapan yang ringan dan tidak terkesan jurnalistik seolah-olah
anda seorang reporter berita.
Sapa,
sapaan ringan akan menambah keakraban. Cukup dengan mengucapkan “Apa kabar?”
akan mengesankan bahwa kita seorang yang perhatian dan peduli terhadap
orang lain. Dan ini adalah golden moment bagi kita untuk melakukan
pendekatan kepada orang-orang yang baru kita kenal. Jika sudah tercipta
komunikasi yang baik maka akan sangat mudah bagi kita untuk menyampaikan dakwah
kita. Buatlah mereka simpati kepada kita terlebih dahulu, baru kita dakwahi.
Karena jika tidak, maka kita akan menginjak kerikil tajam lebih banyak lagi.
Uraian
diatas adalah beberapa kondisi ideal yang kita harapkan dapat kita praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun kita tak akan tahu bagaimana rasanya
manis sebelum kita merasakan seperti apa rasa pahit. Kita tidak tahu cara yang
benar sebelum kita tahu cara yang salah itu seperti apa. Berikut beberapa
penggalan yang terjadi dilapangan dalam proses komunikasi dakwah.
Sebut
saja namanya A, ia dapat dikatakan sebagai salah satu aktivis dakwah di
kampusnya. Sholatnya rajin, hapalannya banyak, nilai akademiknya bagus, dan
aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi dakwahnya. Namun
sayangnya, si A tidak memiliki begitu banyak teman diluar teman-teman
organisasi dakwahnya. Karena dia membatasi dirinya untuk bergaul dengan
orang-orang yang dia anggap tidak se-ide dengannya. Akibatnya, dia tidak begitu
mendapatkan simpati dari teman-teman kelasnya, karena mereka menganggap si A
tidak mau menyediakan waktu untuk berkumpul dengan mereka, sekedar bercengkrama
saja jarang selain keperluan mata kuliah. Ketika jam istirahat pagi, si A
selalu ke masjid untuk mendirikan shalat dhuha, ketika istirahat siang, si A
shalat ke masjid kemudian berkumpul dengan dengan teman-teman organisasi
dakwahnya. Hal itu hampir setiap hari terjadi. Maka apa yang terjadi, si A
dianggap sebagai pribadi yang ekslusif. Hanya mau berteman dengan orang-orang
se-‘jenis’-nya. Kemudian hal ini akan mencederai ‘rumah’ dakwahnya. Karena
orang-orang akan menilai tempat dimana dia banyak menghabiskan waktunya.
Sebut
saja namanya B, ia adalah seorang mahasiswa yang begitu semangat dalam belajar
agama. Ia sangat rajin mengaji, bahkan ia memiliki target untuk membaca
Al-Qur’an satu juz per hari. Al-Qur’an itu pun hampir tak pernah lepas dari
genggamannya. Setiap ada kesempatan ia akan melanjutkan halamannya. Suatu
ketika ia sedang berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Kebetulan waktu
itu jam istirahat, sehingga itu menjadi kesempatan emas bagi mereka untuk
melepas kepenatan dan bertegur sapa atau sekedar mengobrol ringan dengan teman-temannya.
Namun, si A tetap sibuk dengan Al-Qur’an nya. Ia tak perduli dengan orang-orang
disekitarnya. Yang penting ia mengaji untuk mengejar targetnya. Kejadian
seperti ini bukan hanya sekali dua kali, namun hampir setiap hari. Sehingga ia
terkesan sebagai pribadi yang individualis walaupun ia berkumpul dengan banyak
orang.
Sebut
saja namanya C, ia baru memulai untuk tholabul ilmi. Suatu hari ia
berkesempatan hadir di sebuah majelis taklim. Memang penampilannnya tak sama
dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Apalagi ia belum memiliki kenalan di
majeis taklim itu, namun walaupun disana ramai tapi ia merasa sendiri. Karena
dari sekian banyak orang-orang disana tak ada satupun yang menyapanya. Awalnya
ia mengira akan mendapatkan teman-teman baru yang menyenangkan karena ia
menilai ilmu yang diajarkan disana sangat bermanfaat untuknya. Tapi ia akhirnya
untuk mundur dan tidak mau lagi kesana, bukan kerena ilmu yang diajarkan, namun
ia tidak nyaman dengan orang-orang disana yang tidak ramah dan welcome terhadap
orang baru sepertinya. Mereka hanya sibuk mengobrol dengan orang-orang
sesamanya.
Itulah
beberapa contoh real yang ada di sekitar kita. Kerikil tajam yang kita
lemparkan sendiri di jalan dakwah, yang akhirnya melukai kaki kita sendiri.
Masing-masing kita tentu punya idealisme, tapi kompleksnya permasalahan
dilapangan (realita yang disadari atau tidak) menjadikan idealisme tersebut
luntur dan selanjutnya berujung futur. Sebaiknya yang kita lakukan adalah
merintis idealisme yang berangkat dari sebuah realita yang terjadi dalam
lingkungan kita, tidak masalah separah apapun kondisinya. Saat ini justru
banyak organisasi dakwah yang sibuk meninggikan idealismenya tanpa pernah atau
sedikit sekali peduli dengan realitas masyarakat sekitar.
Begitu
pentingnya senyum, salam, dan sapa dalam komunikasi dakwah mengharuskan kita
menjadi pribadi yang dapat membaur namun tidak melebur. Karena sebaik dan
sebagus apapun ilmu yang kita miliki ia tak akan berarti apa-apa jika kita
memiliki cara yang salah dalam penyampaiannya.
Cek
Noer
Palembang,
29 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar