Senin, 11 Agustus 2014

Awali Dakwah Dengan 3S



A : Gimana keadaan disana?
B : Nggak enak ah sama orang-orang disana, nggak ramah, aku dicuekin.

A: Udah ketemu sama ustadzahnya?
B : Belum, kemarin cuma ketemu sama murid-muridnya. Tapi aku malah ditanya macem-macem sama mereka.

Dua percakapan diatas adalah bukti nyata yang saya temui dari beberapa teman yang mengalami ‘cedera’ dalam mengawali proses tholabul ilmi. Namun ‘cedera’ ini bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari orang-orang yang seharusnya membantu tapi malah menjadi penyebab ‘cedera’ yang di alami teman-teman kita tersebut.

Cedera yang dimakud bukanlah cedera fisik/lahiriah. Tapi cedera psikis/batin yang mengakibatkan dampak fatal bagi korbannya. Cedera yang dianggap ringan tapi sebenarnya berat. Cedera yang mengakibatkan korbannya mundur sebelum melangkah.

Dakwah adalah sebuah jalan hidup yang sangat indah. Jalan dakwah bukan hanya milik para ulama, da’i ataupun asatidz. Namun jalan dakwah adalah milik kita semua. Siapa pun bisa menjadi seorang pendakwah tanpa terkecuali. Asalkan yang didakwahkan adalah kebenaran dan sesuai dengan tuntunan. Namun dalam proses penyampaian dakwah tidak selamanya berjalan mulus, terkadang kita harus menginjak kerikil-kerikil tajam dalam perjalanan dakwah.

Salah satu kerikil tajam yang sering terinjak pada langkah pertama di jalan dakwah ialah Komunikasi Dakwah.Yaitu sebuah proses penjajakan kepada mad’u (orang yang di dakwahi) melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Atau dalam bahasa gaulnya PDKT.

Komunikasi sangat berperan penting dalam proses PDKT. Karena komunikasi yang baik akan dapat mengikat hati seseorang sebelum kita menyampaikan maksud yang sebenarnya. Oleh karena itu kita harus mempelajari bebagai macam ilmu komunikasi yang baik dalam mengawali dakwah kita. Salah satunya dengan rumus 3S. Senyum, Salam, dan Sapa.

Dakwah bukanlah sesuatu yang kaku. Dakwah bukan hanya penyampaian ceramah/khotbah yang dilakukan oleh seorang ustadz di atas mimbar. Dakwah lebih luas daripada itu. Dakwah itu fleksibel. Ia bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Khususnya kita sebagai masyarakat yang masih awam pun dapat berdakwah sesuai kemampuan kita. Mungkin tidak harus dengan ceramah/tausiyah. Sekedar memberikan senyuman, salam, dan sapaan. Itu pun sudah termasuk dakwah. Dan kali ini kita akan memfokuskan pada komunikasi dakwah yang tampak ringan namun dapat memberikan dampak yang sangat besar. Yaitu senyum, salam, dan sapa.

Senyum adalah tanda kemesraan dan kasih sayang. Setiap manusia pasti senang jika ia mendapatkan senyuman. Apalagi bagi orang-orang yang baru kita kenal. Mereka akan merasa sangat dihargai dan simpati kepada kita. Ketika orang sudah simpati kepada kita, maka mereka akan dengan senang hati mendengarkan ucapan kita. Sehingga kita bisa melanjutkan ke proses selanjutnya yaitu, memberikan ucapan salam.

Salam, ucapan salam adalah sebuah penghormatan dan doa kepada orang yang kita temui. Dan kitapun akan merasa senang jika orang yang kita berikan salam menjawab salam kita dengan senang hati. Ketika ucapan salam telah tersampaikan, maka akan sangat mudah bagi kita menyapanya dan mengawali percakapan dengannya. Mulailah dengan percakapan yang ringan dan tidak terkesan jurnalistik seolah-olah anda seorang reporter berita.

Sapa, sapaan ringan akan menambah keakraban. Cukup dengan mengucapkan “Apa kabar?” akan mengesankan bahwa kita seorang yang perhatian dan peduli terhadap orang lain. Dan ini adalah golden moment bagi kita untuk melakukan pendekatan kepada orang-orang yang baru kita kenal. Jika sudah tercipta komunikasi yang baik maka akan sangat mudah bagi kita untuk menyampaikan dakwah kita. Buatlah mereka simpati kepada kita terlebih dahulu, baru kita dakwahi. Karena jika tidak, maka kita akan menginjak kerikil tajam lebih banyak lagi.

Uraian diatas adalah beberapa kondisi ideal yang kita harapkan dapat kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun kita tak akan tahu bagaimana rasanya manis sebelum kita merasakan seperti apa rasa pahit. Kita tidak tahu cara yang benar sebelum kita tahu cara yang salah itu seperti apa. Berikut beberapa penggalan yang terjadi dilapangan dalam proses komunikasi dakwah.

Sebut saja namanya A, ia dapat dikatakan sebagai salah satu aktivis dakwah di kampusnya. Sholatnya rajin, hapalannya banyak, nilai akademiknya bagus, dan aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi dakwahnya. Namun sayangnya, si A tidak memiliki begitu banyak teman diluar teman-teman organisasi dakwahnya. Karena dia membatasi dirinya untuk bergaul dengan orang-orang yang dia anggap tidak se-ide dengannya. Akibatnya, dia tidak begitu mendapatkan simpati dari teman-teman kelasnya, karena mereka menganggap si A tidak mau menyediakan waktu untuk berkumpul dengan mereka, sekedar bercengkrama saja jarang selain keperluan mata kuliah. Ketika jam istirahat pagi, si A selalu ke masjid untuk mendirikan shalat dhuha, ketika istirahat siang, si A shalat ke masjid kemudian berkumpul dengan dengan teman-teman organisasi dakwahnya. Hal itu hampir setiap hari terjadi. Maka apa yang terjadi, si A dianggap sebagai pribadi yang ekslusif. Hanya mau berteman dengan orang-orang se-‘jenis’-nya. Kemudian hal ini akan mencederai ‘rumah’ dakwahnya. Karena orang-orang akan menilai tempat dimana dia banyak menghabiskan waktunya.


Sebut saja namanya B, ia adalah seorang mahasiswa yang begitu semangat dalam belajar agama. Ia sangat rajin mengaji, bahkan ia memiliki target untuk membaca Al-Qur’an satu juz per hari. Al-Qur’an itu pun hampir tak pernah lepas dari genggamannya. Setiap ada kesempatan ia akan melanjutkan halamannya. Suatu ketika ia sedang berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Kebetulan waktu itu jam istirahat, sehingga itu menjadi kesempatan emas bagi mereka untuk melepas kepenatan dan bertegur sapa atau sekedar mengobrol ringan dengan teman-temannya. Namun, si A tetap sibuk dengan Al-Qur’an nya. Ia tak perduli dengan orang-orang disekitarnya. Yang penting ia mengaji untuk mengejar targetnya. Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali, namun hampir setiap hari. Sehingga ia terkesan sebagai pribadi yang individualis walaupun ia berkumpul dengan banyak orang.


Sebut saja namanya C, ia baru memulai untuk tholabul ilmi. Suatu hari ia berkesempatan hadir di sebuah majelis taklim. Memang penampilannnya tak sama dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Apalagi ia belum memiliki kenalan di majeis taklim itu, namun walaupun disana ramai tapi ia merasa sendiri. Karena dari sekian banyak orang-orang disana tak ada satupun yang menyapanya. Awalnya ia mengira akan mendapatkan teman-teman baru yang menyenangkan karena ia menilai ilmu yang diajarkan disana sangat bermanfaat untuknya. Tapi ia akhirnya untuk mundur dan tidak mau lagi kesana, bukan kerena ilmu yang diajarkan, namun ia tidak nyaman dengan orang-orang disana yang tidak ramah dan welcome terhadap orang baru sepertinya. Mereka hanya sibuk mengobrol dengan orang-orang sesamanya.

Itulah beberapa contoh real yang ada di sekitar kita. Kerikil tajam yang kita lemparkan sendiri di jalan dakwah, yang akhirnya melukai kaki kita sendiri. Masing-masing kita tentu punya idealisme, tapi kompleksnya permasalahan dilapangan (realita yang disadari atau tidak) menjadikan idealisme tersebut luntur dan selanjutnya berujung futur. Sebaiknya yang kita lakukan adalah merintis idealisme yang berangkat dari sebuah realita yang terjadi dalam lingkungan kita, tidak masalah separah apapun kondisinya. Saat ini justru banyak organisasi dakwah yang sibuk meninggikan idealismenya tanpa pernah atau sedikit sekali peduli dengan realitas masyarakat sekitar.

Begitu pentingnya senyum, salam, dan sapa dalam komunikasi dakwah mengharuskan kita menjadi pribadi yang dapat membaur namun tidak melebur. Karena sebaik dan sebagus apapun ilmu yang kita miliki ia tak akan berarti apa-apa jika kita memiliki cara yang salah dalam penyampaiannya.


Cek Noer
Palembang, 29 Desember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar