Kamis, 28 Agustus 2014

The Most Memorable Wedding




Welcome to my blog guys, hem ngebaca judul di atas pasti pada penasaran kan apa sih yang mau Cek Noer bahas. Yaap bener sieeh kali ini saya mau negbahas tentang nikah. Cie ciee, provokatif banget yaak. Tapi nggak masalah kaan? Okay tenang, pasti pada penasaran kan, atau malah ada berprasangka kalau Cek Noer sebenernya udah ngebet pengen nikah? #jleeb. Kasih tau nggak yaaah? Okey fine, bakal di kasih tauu.

Menikah.... it’s so cool right! Siapa sieh yang nggak merindukan hari bahagia itu. Bertemu dengan soulmate yang dirindukan, kemudian bersatu dalam mahligai rumah tangga, menjalani hidup berdua baik suka maupun duka. And .... terusin sendiri yaah.

Nah, kali ini saya bukan mau ngebahas tentang gimana caranya cari jodoh yang soleh wa solehah atau gimana caranya mempersiapkan diri sebelum menikah. Karena bahasan seperti ini sudah banyak di lapak lain. Jadi, nanti bisa di baca sendiri yaaa. Tapi, kali ini saya mau ngebahas tentang hal-hal yang bersifat praktis tentang walimarul ‘urs. Wuiih, disimak yaaak, plis. #maksa mode on!

Analisa ini, (wuiih analisa kayak peneliti aje), berawal dari pengalaman saya bertandang ke pesta pernikahan teman-teman saya. Dari sekian pesta yang mereka laksanakan, ada beberapa tempat yang cukup berkesan bagi saya. Yaaah, pasti yang berkesan itu yang beda dari biasanya dan unik. Tapi bukan sembarang unik, namun di balik itu ada ibroh (pelajaran) berharga yang bisa saya ambil. Diantaranya .....

Walimatul Ursy Nabilah, atau biasa saya panggil Adek Cila, adik tingkat di Kampus. Nieh anak masih muda bingit, waktu nikah kemarin usianya 19 tahun. Pada waktu itu saya masih semester 5 dan dia semester 3. Sebenernya banyak yang menyayangkan atas keputusannya untuk menikah muda. Karena nieh anak cukup berprestasi di kampus, cantik, blasteran, de el el laah. Setelah saya ajak ngobrol-ngobrol ternyata dia memberikan jawaban yang luar biasa, lebih dewasa dari usianya. Dia memutuskan untuk menikah muda karena, 1. Di jodohin oleh orang tuanya, berhubung si Cila keturunan Arab, jadi sangat biasa jika gadis seusianya sudah dinikahkan, terlebih lagi dinikahkan dengan pria yang keturunan Arab juga. 2. Kesadaran akan besarnya manfaat nikah muda, “Daripada pacaran yang penuh dengan maksiat, lebih baik nikah muda, berpahala dan bahagia” #jleeb. Pas di jawab itu, kesenggol banget daah guee. Sepakat deeh dek, buat yang satu itu. 3. “Cila nggak mau terlalu mengejar dunia, tapi Cila kepingin bahagia Dunia dan Akhirat, dengan menjadi istri solehah salah satunya.” Aduuh, tambah ketonjok deh guee. #cimiw

Tapi bukan cuma itu yang berkesan bagi saya, yang lebih kece lagi yaitu ketika saya menghadiri pesta walimatul ‘urs nya. Sesuai di kartu udangannya, disana ditulis kalau pestanya diadakan 2 kali, pertama akad di rumah mempelai pria, dan yang kedua pesta khusus di rumah mempelai wanita. Kebetulan saya tidak mengahadiri acara akad, tapi cuma menghadiri undangan pesta kedua. Pas datang kesana, wuiih tamunya ibu-ibu semuaa. Jadi, pada hari itu, acanyanya khusus untuk wanita, baik panitia maupun tamu semuanya wanita. Dan hiburannya hanya ada #robbana dan khotbah dari ustadzah.

Dan yang berkesan lagi pas acara makan-makan, tamu tidak perlu menghampiri meja prasmanan, karena semua makanan sudah aman terkendali, maksudnya, tamu tidak perlu repot-repot kesana-kemari, cukup duduk rapi di kursi, nanti makanannya ‘nasi samin’ akan diantar oleh panitia. Jadi tinggal #lep dan kenyaang deeeh. Keren bangeet kaaan. Pengen lagi ..... !

Nah yang kedua yaitu pernikahannya sahabat saya, Mbak Mita. Mbak yang satu ini penuh dengan kejutan, nggak banyak bunyi eeh tiba-tiba ngirim undangan, maklum dalam proses ta’aruf mah emang nggak boleh banyak ‘bunyi’ sebelum resmi di khitbah. Sedikit dapet curhatan dari Mbak Mita, dia kepingin pesta walimahnya nggak neko-neko. Yang sederhana dan syar’i. Awalnya dia sedikit mengalami kesulitan untuk ‘mengkondisikan’ keluarganya. Karena keluarganya kepingin walimah Mbak Mita seperti orang kebanyakan. Dengan prosesi adat Palembang, pelaminan, dan musik gitu. Tapi Alhamdulillah dengan semangat dan tekad sekuat baja, akhirnya keluarganya bisa ‘ditakhlukkan’ walaupun tidak keseluruhan permintaannya terpenuhi. Nah, berikut negosiasi yang berhasil dilakukan Mbak Mita kepada keluarganya. 1. Tempat duduk undangan laki-laki dan perempuan dipisah (no ikhtilat). 2. Tidak ada hiburan musik orkes dan sejenisnya. 3. Tempat duduk pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di pisah. 4. Akad atau ijab kabulnya dilaksanakan jam 7 pagi, hal ini bertujuan supaya acara makan-makannya tidak kesiangan. Jadi, sebelum sholat zuhur acara sudah selesai. Saluut deh buat Mbak Mita, banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari perjuangannya. Saya pun akan berusaha untuk melakukan hal yang sama, bantu doanya yaak temans. Hihi

Oh iya temans, ada satu lagi yang ingin saya share dan sedikit membuat saya gulau juga sebelumnya. Itu looh tentang busana syar’i pengantin wanita. Awalnya saya bingung kriteria busana syar’i untuk pengantin wanita itu seperti apa sih, apakah dengan gaun yang lebar dan khimar yang panjang, ataukah pengantinnya tidak bermake-up, de el el. Tapi alhmadulillah setelah banyak berdiskusi dengan para senior dan mencari info di buku-buka serta internet, saya telah menemukan jawabannya.

Ternyata kriteria busana walimah yang syar’i itu bukan sebatas gaun yang lebar, khimar yang panjang dan make-up yang sederhana. Tapi ada esensi yang lebih penting daripada itu. Yaitu, tidak ditampakkannya kecantikan pengantin wanita di depan laki-laki ajnabi (non mahrom). Karena ketika seorang wanita menjadi pengantin, maka dia dalam keadaan yang paling cantik dan menjadi pusat perhatian banyak orang. Jadi, sekalipun pengantin tersebut, pakaiannya tidak begitu longgar, khimarnya tidak begitu panjang, dan make-up nya tebal (dengan syarat : tidak mencukur alis dan bersanggul) namun si pengantin wanita hanya di pajang di hadapan tamu-tamu wanita, itu tidak meyalahi syari’at sama sekali. InsyaAllah.

Nah, itulah hasil pengamatan yang saya dapatkan dari pesta pernikahan sahabat-sahabat saya. Semoga bisa menjadi referensi bagi temans-teman yang masih single. Semoga bermanfaat. See you!

Cek Noer
Palembang, 28 Agustus 2014

Senin, 11 Agustus 2014

Dunia Bocah






“Yuk koran yuk, seribu bae, belilah yuuk.” (Kak, koran kak, seribu aja, belilah kak). Dengan nada merayu si kecil menyodorkan sebundel koran kepadaku. Bukan hanya sekali ini saya menjumpai bocah-bocah lugu itu, bahkan hampir setiap kali ketika saya naik bis kota, saya sering bertemu dengan mereka walau dengan wajah yang berbeda-beda.

Seketika prasangka menyerbu ruang kepala, “Anak siap sih mereka ini?, Mana orang tuanya?, Nih anak-anak sekolah nggak sih?.” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku semakin bingung. Terkadang saya membeli koran yang mereka jual, tapi bukan berarti saya benar-benar membutuhkan koran tersebut, melainkan karena rasa tidak tega, kasihan.

Mereka, yang seharusnya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan belajar dan bermain, malah digunakan untuk mengais rezeki yang belum saatnya mereka lakukan. Ketika anak-anak lain sedang bermain mobil-mobilan, play-station, mengaji, les, dll. Mereka malah bermain dengan asap-asap knalpot, klakson mobil, dan lampu merah yang tiba-tiba menjadi hijau.

***

“Mak, asoy mak, seribu.” (Bu kantong bu, seribu). Beberapa bocah menghapiri kami (Aku & Ibu) ketika kami sedang belanja di salah satu pasar tradisional di Palembang. Bocah-bocah kecil baik laki-laki dan perempuan, merayu dengan sedikit ‘memaksa’ agar kami membeli kantong yang mereka jajakan. Kadangkala ketika kami benar-benar membutuhkan, kami membeli kantong tersebut.

Kantong plastik hitam atau kantong kresek itu terikat kuat di pinggang mereka, jika ada orang yang mau membeli, secepat kilat mereka menariknya dan menadahkannya kepada calon pembeli. Harganya seribu rupiah per lembar, entah harus berapa kali mereka melakukan hal yang sama setiap harinya. Mencari target pembeli, menawarkan, dan mendapatkan uang. Hatipun berkata, “Berapa lembar kantong yang kalian jual dan berapa untung yang kalian dapatkan seharian ini?.”

***

“Yuk sini yuk dengan aku.” (Kak, kesini kak denganku). Teriakan bocah-bocah itu cukup menghentak telingaku, belum sempat kaki ini menginjak tanah (turun dari mobil), payung mereka sudah berada di atas kepalaku. Menawarkan payung-payung mereka untuk mengiringi kemana kaki ini melangkah. Sementara yang kulihat adalah wajah-wajah pucat menggigil sedang melemparkan senyum dan peruh harap. Saya tahu maksud mereka, berharap ada lembaran-lembaran rupiah yang saya berikan kepadanya.

“Kalian itu sedang mencari uang atau mencari penyakit?.” Ujarku dalam hati, tapi kalimat ini tak mungkin saya ucapkan kepada mereka. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri kenapa mereka melakukan itu. Apakah terpakasa, butuh, atau hobi?

***

Ini kejadian ketika saya masih SD, ketika kapal Ferry yang kami tumpangi merapat di pelabuhan. Saya melihat bocah-bocah kecil lompat dari dermaga. “Apa yang sedang mereka lakukan?.” Ditempat yang sama saya melihat orang-orang dewasa sedang melempar uang kertas dan koin ke sungai tepi dermaga? Ternyata, saya melihat atraksi mencengangkan. Beberapa anak terjun ke sungai untuk menangkap rupiah-rupiah yang dilempar tersebut?. “Waduh, adik-adik, kok sebegitunya sih kalian mencari uang sampai harus bertaruh nyawa.” Menurut saya sih itu aksi yang berbahaya, ya karena saya tidak pernah melihat kejadian seperti itu. Tapi, mungkin tidak menurut mereka. Bisa jadi ini sudah menjadi pekerjaan mereka sehari-hari? I don’t know laaa!

***

Well, terakhir ini cerita tentang seorang gadis kecil yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Waktu bulan ramadhan kemarin, bocah ini keliling di sekitar kampung saya untuk menjajakan kue takjil. Suatu ketika, Ibu saya datang ke rumahnya untuk membeli kue dan mendengarkan percakapan atara ibu dan anak, Ibu si gadis berkata kepada anaknya, “Ayo nak kita jualan kue di depan sana”. Si anak menjawab, “Nggak usahlah mak, biar aku aja yang keliling jual kue itu.” Ibunya menyahut, “Apa kamu nggak malu jualan kue itu?”. Si anak menjawab lagi, “Kenapa mesti malu, kan nggak mencuri.” Masyaallah, ini bukanlah ucapan anak-anak biasa. Jarang sekali kita mendapati anak SD yang berfikir sedewasa itu.

***

Beberapa kisah nyata di atas merupakan kejadian yang tidak biasa kita saksikan di sekitar kita. Dunia bocah, yang selama ini kita indentikkan dengan dunia bermain dan belajar. Ternyata diluar sana, tidak se ideal yang kita pikirkan. Ada beberapa kisah yang membuat kita prihatin dan sedih namun ada juga beberapa kisah yang menginspirasi dari bocah-bocah tersebut.

Dari realita yang ada di lapangan, terkhusus masalah bocah-bocah yang tidak mendapatkan hak yang semestinya mereka dapatkan. Bermain, belajar, dan sekolah. Merupakan PR kita bersama. Semua pihak, bukan hanya orang tua, namun pemerintah dan masyarakat sekitar mereka. Mereka harus memilki hak yang sama seperti anak-anak pada umumnya. Menikmati fase hidup sesuai usianya. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan menjadi tonggak masa depan.

Semoga kisah-kisah diatas dapat menjadi pelajaran buat kita semua agar lebih sensitif terhadap fenomena sosial yang ada di sekitar kita. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. See you!

Cek Noer
Palembang, 11 Agustus 2014

Awali Dakwah Dengan 3S



A : Gimana keadaan disana?
B : Nggak enak ah sama orang-orang disana, nggak ramah, aku dicuekin.

A: Udah ketemu sama ustadzahnya?
B : Belum, kemarin cuma ketemu sama murid-muridnya. Tapi aku malah ditanya macem-macem sama mereka.

Dua percakapan diatas adalah bukti nyata yang saya temui dari beberapa teman yang mengalami ‘cedera’ dalam mengawali proses tholabul ilmi. Namun ‘cedera’ ini bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari orang-orang yang seharusnya membantu tapi malah menjadi penyebab ‘cedera’ yang di alami teman-teman kita tersebut.

Cedera yang dimakud bukanlah cedera fisik/lahiriah. Tapi cedera psikis/batin yang mengakibatkan dampak fatal bagi korbannya. Cedera yang dianggap ringan tapi sebenarnya berat. Cedera yang mengakibatkan korbannya mundur sebelum melangkah.

Dakwah adalah sebuah jalan hidup yang sangat indah. Jalan dakwah bukan hanya milik para ulama, da’i ataupun asatidz. Namun jalan dakwah adalah milik kita semua. Siapa pun bisa menjadi seorang pendakwah tanpa terkecuali. Asalkan yang didakwahkan adalah kebenaran dan sesuai dengan tuntunan. Namun dalam proses penyampaian dakwah tidak selamanya berjalan mulus, terkadang kita harus menginjak kerikil-kerikil tajam dalam perjalanan dakwah.

Salah satu kerikil tajam yang sering terinjak pada langkah pertama di jalan dakwah ialah Komunikasi Dakwah.Yaitu sebuah proses penjajakan kepada mad’u (orang yang di dakwahi) melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Atau dalam bahasa gaulnya PDKT.

Komunikasi sangat berperan penting dalam proses PDKT. Karena komunikasi yang baik akan dapat mengikat hati seseorang sebelum kita menyampaikan maksud yang sebenarnya. Oleh karena itu kita harus mempelajari bebagai macam ilmu komunikasi yang baik dalam mengawali dakwah kita. Salah satunya dengan rumus 3S. Senyum, Salam, dan Sapa.

Dakwah bukanlah sesuatu yang kaku. Dakwah bukan hanya penyampaian ceramah/khotbah yang dilakukan oleh seorang ustadz di atas mimbar. Dakwah lebih luas daripada itu. Dakwah itu fleksibel. Ia bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Khususnya kita sebagai masyarakat yang masih awam pun dapat berdakwah sesuai kemampuan kita. Mungkin tidak harus dengan ceramah/tausiyah. Sekedar memberikan senyuman, salam, dan sapaan. Itu pun sudah termasuk dakwah. Dan kali ini kita akan memfokuskan pada komunikasi dakwah yang tampak ringan namun dapat memberikan dampak yang sangat besar. Yaitu senyum, salam, dan sapa.

Senyum adalah tanda kemesraan dan kasih sayang. Setiap manusia pasti senang jika ia mendapatkan senyuman. Apalagi bagi orang-orang yang baru kita kenal. Mereka akan merasa sangat dihargai dan simpati kepada kita. Ketika orang sudah simpati kepada kita, maka mereka akan dengan senang hati mendengarkan ucapan kita. Sehingga kita bisa melanjutkan ke proses selanjutnya yaitu, memberikan ucapan salam.

Salam, ucapan salam adalah sebuah penghormatan dan doa kepada orang yang kita temui. Dan kitapun akan merasa senang jika orang yang kita berikan salam menjawab salam kita dengan senang hati. Ketika ucapan salam telah tersampaikan, maka akan sangat mudah bagi kita menyapanya dan mengawali percakapan dengannya. Mulailah dengan percakapan yang ringan dan tidak terkesan jurnalistik seolah-olah anda seorang reporter berita.

Sapa, sapaan ringan akan menambah keakraban. Cukup dengan mengucapkan “Apa kabar?” akan mengesankan bahwa kita seorang yang perhatian dan peduli terhadap orang lain. Dan ini adalah golden moment bagi kita untuk melakukan pendekatan kepada orang-orang yang baru kita kenal. Jika sudah tercipta komunikasi yang baik maka akan sangat mudah bagi kita untuk menyampaikan dakwah kita. Buatlah mereka simpati kepada kita terlebih dahulu, baru kita dakwahi. Karena jika tidak, maka kita akan menginjak kerikil tajam lebih banyak lagi.

Uraian diatas adalah beberapa kondisi ideal yang kita harapkan dapat kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun kita tak akan tahu bagaimana rasanya manis sebelum kita merasakan seperti apa rasa pahit. Kita tidak tahu cara yang benar sebelum kita tahu cara yang salah itu seperti apa. Berikut beberapa penggalan yang terjadi dilapangan dalam proses komunikasi dakwah.

Sebut saja namanya A, ia dapat dikatakan sebagai salah satu aktivis dakwah di kampusnya. Sholatnya rajin, hapalannya banyak, nilai akademiknya bagus, dan aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi dakwahnya. Namun sayangnya, si A tidak memiliki begitu banyak teman diluar teman-teman organisasi dakwahnya. Karena dia membatasi dirinya untuk bergaul dengan orang-orang yang dia anggap tidak se-ide dengannya. Akibatnya, dia tidak begitu mendapatkan simpati dari teman-teman kelasnya, karena mereka menganggap si A tidak mau menyediakan waktu untuk berkumpul dengan mereka, sekedar bercengkrama saja jarang selain keperluan mata kuliah. Ketika jam istirahat pagi, si A selalu ke masjid untuk mendirikan shalat dhuha, ketika istirahat siang, si A shalat ke masjid kemudian berkumpul dengan dengan teman-teman organisasi dakwahnya. Hal itu hampir setiap hari terjadi. Maka apa yang terjadi, si A dianggap sebagai pribadi yang ekslusif. Hanya mau berteman dengan orang-orang se-‘jenis’-nya. Kemudian hal ini akan mencederai ‘rumah’ dakwahnya. Karena orang-orang akan menilai tempat dimana dia banyak menghabiskan waktunya.


Sebut saja namanya B, ia adalah seorang mahasiswa yang begitu semangat dalam belajar agama. Ia sangat rajin mengaji, bahkan ia memiliki target untuk membaca Al-Qur’an satu juz per hari. Al-Qur’an itu pun hampir tak pernah lepas dari genggamannya. Setiap ada kesempatan ia akan melanjutkan halamannya. Suatu ketika ia sedang berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Kebetulan waktu itu jam istirahat, sehingga itu menjadi kesempatan emas bagi mereka untuk melepas kepenatan dan bertegur sapa atau sekedar mengobrol ringan dengan teman-temannya. Namun, si A tetap sibuk dengan Al-Qur’an nya. Ia tak perduli dengan orang-orang disekitarnya. Yang penting ia mengaji untuk mengejar targetnya. Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali, namun hampir setiap hari. Sehingga ia terkesan sebagai pribadi yang individualis walaupun ia berkumpul dengan banyak orang.


Sebut saja namanya C, ia baru memulai untuk tholabul ilmi. Suatu hari ia berkesempatan hadir di sebuah majelis taklim. Memang penampilannnya tak sama dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Apalagi ia belum memiliki kenalan di majeis taklim itu, namun walaupun disana ramai tapi ia merasa sendiri. Karena dari sekian banyak orang-orang disana tak ada satupun yang menyapanya. Awalnya ia mengira akan mendapatkan teman-teman baru yang menyenangkan karena ia menilai ilmu yang diajarkan disana sangat bermanfaat untuknya. Tapi ia akhirnya untuk mundur dan tidak mau lagi kesana, bukan kerena ilmu yang diajarkan, namun ia tidak nyaman dengan orang-orang disana yang tidak ramah dan welcome terhadap orang baru sepertinya. Mereka hanya sibuk mengobrol dengan orang-orang sesamanya.

Itulah beberapa contoh real yang ada di sekitar kita. Kerikil tajam yang kita lemparkan sendiri di jalan dakwah, yang akhirnya melukai kaki kita sendiri. Masing-masing kita tentu punya idealisme, tapi kompleksnya permasalahan dilapangan (realita yang disadari atau tidak) menjadikan idealisme tersebut luntur dan selanjutnya berujung futur. Sebaiknya yang kita lakukan adalah merintis idealisme yang berangkat dari sebuah realita yang terjadi dalam lingkungan kita, tidak masalah separah apapun kondisinya. Saat ini justru banyak organisasi dakwah yang sibuk meninggikan idealismenya tanpa pernah atau sedikit sekali peduli dengan realitas masyarakat sekitar.

Begitu pentingnya senyum, salam, dan sapa dalam komunikasi dakwah mengharuskan kita menjadi pribadi yang dapat membaur namun tidak melebur. Karena sebaik dan sebagus apapun ilmu yang kita miliki ia tak akan berarti apa-apa jika kita memiliki cara yang salah dalam penyampaiannya.


Cek Noer
Palembang, 29 Desember 2013