1. “Saya tahu, hijab itu wajib
bagi muslimah, tapi biarlah ini menjadi urusan saya dan Tuhan saya.”
2. “Saya menyadari bahwa membuka
aurat itu perbuatan dosa, tapi biarlah saat ini saya sedang menikmati dunia saya.”
3. “Saat ini saya sedang
menikmati dunia, namun saya juga ingin menikmati akhirat (surga), saat ini saya
berada di tengah-tengah. Saya juga tidak tahu kenapa hati saya seperti ini.
Saya memohon kepada Allah agar segera memberi hidayah kepada saya.”
Inilah beberapa kalimat yang
dilontarkan oleh seorang biduanita yang cukup tenar di negeri kita. Tidak perlu
saya sebutkan siapa namanya, karena bukan saatnya kita menggunjingkan seseorang
yang seharusnya kita doakan. Tapi yang harus kita bahas ialah pelajaran apa
yang bisa kita ambil dari beberapa kalimat diatas.
Hidayah, ia adalah nikmat
terbesar yang Allah berikan kepada seorang hamba. Karena hidayah ialah tabir
pembuka dari kegelapan menuju cahaya. Mengubah aroma busuk menjadi aroma
kasturi. Bahkan hidayah dapat mengantarkan seorang hamba mencapai surga-Nya.
Namun harus kita ingat, tidak
semua hamba yang beruntung mendapat hidayah-Nya. Seperti dalam firman-Nya.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.” (QS Al
Qashash: 56).
Lalu, jika Allah berkata demikian
apa yang harus kita lakukan? Apakah kita temasuk hamba-hamba pilihannya itu?
Atau malah kita termasuk orang-orang yang jauh dari hidayah. Hanya Dia yang
tahu!
Tapi, jangan terburu-buru kita
mengambil kesimpulan apalagi dengan mudahnya lidah ini berkata, “Ya sudah
kalau gitu, saya nunggu aja deh kapan hidayah itu mau datang. Kalo memang saya
pilihan Allah, pasti saya dapat. Kalo nggak dapat, berarti saya bukan manusia
pilihan-Nya.”
Astagfirullah, bersegeralah
memohon ampun kepada-Nya. Ini bukanlah ucapan dari seorang hamba yang berserah
diri. Namun sebuah ucapan kesombongan besar terhadap Sang Pencipta.
Jika kita harus menunggu sampai
hidayah itu datang dengan sendirinya, lalu apa gunanya akal yang diberikan
Allah kepada kita?
Alhamdulillah, kita terlahir
sebagai seorang muslim. Sebuah bonus terbesar yang Allah berikan kepada kita,
tanpa harus kita pinta sebelumnya. Tapi, jangan sombong dulu. Karena yang masuk
surga itu bukan seorang muslim, tapi seorang mukmin.
Lahirnya kita sebagai seorang
muslim merupakan hak prerogatif Allah, namun mati dalam keadaan mukmin
merupakan hak prerogatif hamba itu
sendiri. Jadi jangan sombong.
Sering kita dengar di
tengah-tengah umat muslim sebuah perkataan, “Saya ini orang muslim, walaupun
saya banyak maksiat tapi ujung-ujungnya masuk surga, tapi kalo orang kafir,
sebaik apapun hidup mereka, masih masuk neraka juga.”
Lalu apakah dengan terlahirnya
kita sebagai muslim lantas kita yakin pasti masuk surga? Seyakin itukah diri kita
bahwa kemaksiatan yang kita lakukan tidak akan mengantarkan kita pada perbuatan
syirik? Baik secara sadar maupun tidak kita sadari? Atau jangan-jangan ini
alasan kita untuk terus melakukan maksiat.
Jika benar demikian, yang
terlahir muslim pasti masuk surga dan yang terlahir kafir pasti masuk neraka,
maka Allah tidak adil. Kenapa? Karena jika manusia tahu bahwa ia akan terlahir
sebagai seorang kafir, tentu sebelum terlahir di dunia mereka akan meminta
untuk dilahirkan sebagai seorang muslim saja. Tapi nyatanya tidak seperti itu?
Karena terlahir sebagai seorang
muslim hanyalah bonus. Bonus untuk mempermudah menjadi seorang mukmin. Dan
terlahir sebagai seorang kafir merupakan ujian. Ujian berat bagi mereka, berat
kenapa. Mereka harus menempuh dua fase. Yaitu fase menjadi seorang muslim,
kemudian fase menjadi seorang mukmin. Karena seorang muslim belum tentuk
mukmin, tapi seorang mukmin sudah pasti muslim. Dan bila mereka mau melepaskan
kekafirannya, sungguh pahala yang Allah berikan sangat besar kepada mereka.
Yaitu, terhapusnya segala dosa dimasa lalu, dan hidup seperti bayi yang baru
lahir. Itulah perbedaan antara bonus kita dan bonus mereka.
Maka, mau sampai kapan kita
berkata, “Tunggu hidayah datang.” Apakah kita bisa menjamin disaat
hidayah itu datang kita dalam keadaan siap? Atau bahkan ia datang ketika nafas
ini sudah berada diujung kerongkongan?
Untukmu yang sudah merasa
mendapatkan hidayah. Mari kita jaga hidayah itu, jangan sampai ia terlepas. Dan
mari terus berdoa untuk mendapatkan hidayah-hidayah selanjutnya, jangan pernah
merasa puas atas hidayah. Karena belum tentu hidayah yang kita rasakan saat ini
merupakan puncak dari hidayah itu. Atau bahkan ini hanyalah langkah awal untuk
menuju tangga hidayah yang pertama.
Sahabat Muslimah, salah satu
nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita yaitu perintah untuk menutup
aurat. Ini perintah yang khusus Allah berikan kepada Muslimah. Bukan kepada wanita-wanita
lain. Sebuah kemuliaan dan penghargaan yang Dia berikan kepada kita. Agar kita
menjadi wanita-wanita terhormat dimuka bumi ini, dan menjadi bidadari-bidadari surga
di akhirat nanti. Lalu, kenapa engkau masih enggan untuk menerima penghargaan
ini? Lantas penghargaan seperti apa yang menjadikanmu meninggalkan pengharagaan
dari yang menciptakanmu? Apa yang kau khawatirkan sehingga masih enggan untuk
berhijab?
Takut tidak kebagian rizki? Takut
jauh jodoh?. Kenapa harus takut? Kan Allah yang menyuruh, pasti Dia akan
bertanggung jawab atas apa yang Dia perintahkan kepada kita. Hati-hati looh,
jangan pernah berkata, “Nanti ah berhijab, yang penting saya menghijabi hati
dulu.” Loh kenapa hatinya di hijabi, nanti hidayah malah sulit masuk.
Hijab, hijab, hijab, kenapa harus
hijab. Karena ia merupakan identitas, pembeda antara Muslimah dengan wanita-wanita
lain. Bukti penhambaan dan ketaatan kita ke pada Allah, Sang
Pencipta. Alangkah nikmatnya muslimah-muslimah di Indonesia? Loh kenapa?
Coba kita tengok sebagian
saudari-saudari kita yang tinggal di negeri-negeri barat, eropa, dll. Karena
hijab mereka dikucilkan, harena hijab mereka didiskriminasi, karena hijab
mereka di anggap teroris. Itulah ujian yang harus mereka terima dalam
memperjuangkan ketaatannya kepada Allah. Namun seberat apapun ujian, mereka tak
gentar dan terus memperjuangkan prinsip-prinsip mereka.
Diantaranya yaitu teladan yang
bisa kita ambil dari Wanita-Wanita Muhajirin - ketika turun perintah Allah -Subhanahu wa Ta’ala- agar mengenakan kerudung, mereka
segera merobek korden-korden (hordeng) yang mereka punyai lalu memakainya
sebagai kerudung.
Lalu bagaimana dengan kita? Kita
yang berada di Indonesia? Negeri yang memiliki jumlah muslim terbesar di dunia.
Negeri yang masih aman. Negeri yang penuh dengan toleransi. Apa yang harus kita
takutkan?
Hidayah bukan untuk ditunggu.
Tapi untuk dijemput. Jika kamu menjemput hidayah, hidayah akan bersamamu. Jika
kamu tidak menjemputnya, maka ia akan bersama orang lain. Jika orang lain
bersama hidayah. Kamu dengan siapa??
Cek Noer
Palembang, 10/07/14