Berawal dari diskusi dengan
beberapa sahabat tentang pesta pernikahan syar’i (walimatul ‘urs) dan pengamatan
yang kami lakukan terhadap prosesi pernikahan adat Palembang. Kami melihat ada
hal-hal menarik yang sangat bermanfaat untuk kita bahas. Sedikit analisa untuk
mengkonversikan antara prosesi pernikahan adat Palembang dengan prosesi
pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam. Ternyata, kami menemukan titik
temu dimana ada tradisi-tradisi unik pernikahan adat Palembang yang sejalan
dengan syariat Islam. Dibawah ini kami akan memaparkan tahapan-tahapan prosesi
pernikahan adat Palembang. Namun disamping itu ada juga beberapa tradisi yang
tidak dikenal dalam syariat Islam, jika tidak melanggar syariat maka tradisi
tersebut hukumnya mubah. Namun jika tradisi tersebut bertentangan dengan
syariat Islam. Maka tidak boleh dilaksanakan (haram), karena akan menimbulkan
mudharat yang besar.
ADAT : MADIK
Penyelidikan dinamakan “Madik”.
Setelah banyak rumah dikunjunginya untuk memperhatikan anak gadis yang berada
di rumah tersebut, maka wanita utusan memberikan laporan yang di dapatnya
kepada orang yang mengurusnya.
SYARIAT : TA’ARUF
Proses mencari
jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering
dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba
dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya
pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah
memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan
yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan
perinciannya :
Sebelum
seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus
mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula
sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya
proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak
paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka
penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram
hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun
mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa
namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi
lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari
pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang
lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
ADAT : MENYENGGUNG
Kemudian diatur seorang utusan
pergi ke rumah si gadis dimaksud untuk mendapatkan penegasan apakah si gadis
tersebut sudah atau belum bertunangan (dilamar).
SYARIAT : TABAYYUN (KLARIFIKASI)
Apabila
seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya
meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda:
“Tidak boleh
seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya
itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR.
Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat
Muslim (no. 3449) disebutkan:
“Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya
menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya
meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya
meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
ADAT : MINANG ATAU MELAMAR (PDKT)
Apabila jawaban bersedia untuk
disenggung maka tiga hari bersama itu orang tua si bujang menyuruh utusan tadi
bersama 4 (empat) orang wanita hingga
menjadi 5 (lima) orang dari keluarga atau sahabat terdekat ke rumah si gadis
dengan membawa “gegawaan” yaitu satu kain terbungkus dengan sapu tangan yang
diletakkan diatas nampan berikut 5 tenong berisi bahan seperti gula, gandum,
juada atau buah-buahan dan lain-lain.
Gewawaan atau pembawaan ini
dinamakan “Sirih Hanyut” yang akan dihadiahkan kepada para tetangga sekitar
sebagai pemberitahuan bahwa si gadis di rumah tersebut di pinang.
SYARIAT : NAZHAR (MELIHAT CALON
PASANGAN HIDUP)
Seorang wanita
pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
“Wahai
Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau
mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau
menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no.
3472)
Hadits ini
menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan
baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Sebagai
catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki
tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si
wanita. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki
bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si
wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki- laki
atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya
tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia
mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin
dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi
Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Ketika nazhar,
boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya.
Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya,
seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki
dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Bila seorang
dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa
yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu
Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah
no. 99)
ADAT : BERASAN / MELAMAR
Berdasarkan data informasi tentang si calon menantu sudah cocok
dengan keinginan laki-laki barulah diutus “duta” untuk mengajukan lamaran ke
rumah si gadis.
SYARIAT : KHITBAH
Meminta pendapat putrinya/wanita
yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya. Persetujuan
seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Tidak boleh seorang janda
dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh
seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab
beliau.
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
ADAT : MUTUSKAN KATO BERIKUT DENGAN TUNANGAN
Jika berasan sudah cocok, makan dilanjutkan dengan menentukan waktu
acara. Dari kedua belah pihak membentuk tim untuk menetapkan tanggal hari dan
mengatur tata tertib pelaksanaan. Kapan waktu nikah, kapan waktu munggah,
berapa mas kawin dan lainnya, kapan mengantarkan mas kawinnya, kapan mengantar
uang “asep”, dimana acara pernikahan
dilaksanakan, berapa banyak orang yang akan diajak untuk Nyanjo, sampai pada
acara-acara tambahan untuk meramaikan upacara.
Sejak hari itu si bujang dan si gadis diresmikan menjadi tunangan
dengan acara pemberian hadiah berupa emas intan dan diadakan tukar cincin.
Kedua belah pihak hendaknya pada waktu-waktu tertentu saling
berkunjung dan saling beranteran berupa makanan dan minuman serta barang
lainnya.
Ngocek bawang diistilahkan untuk persiapan awal dalam menghadapi
dua hari sebelum Munggah dan dilanjutkan dengan ngocek bawang besak. Pada hari
ngocek bawang pihak penganten yang akan melaksanakan acara munggah, mengundang
(ngulemi) ke rumah besannya.
SYARIAT : KESEPAKATAN KEDUA BELAH PIHAK
Setelah pinangan diterima
tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun
tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan
berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi,
sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa
fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
ADAT : PERKAWINAN ATAU AKAD
Beberapa
hari sebelum munggah, maka si bujang di nikahkan dirumahnya sendiri dan ayahnya
si gadis sebagai walinya sendiri. Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung
antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
SYARIAT : AKAD
Rukun nikah adalah sebagai
berikut :
1. Adanya calon suami dan istri
yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara
perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita
yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena
adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam
masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang
kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang
diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali
mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau
“Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz
yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu
Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau
“Qabiltuha.”
ADAT : MENGARAK
PACAR
Setelah nikah, maka sang suami belum dapat tinggal serumah dengan
istrinya, maka sebagai lambang bahwa sang suami telah berada disamping istrinya
maka diadakan acara Ngarak pacar.
SYARIAT : SETELAH AKAD
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi
suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi
baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk
membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari
mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih
mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari
Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan
mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya,
dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan
hadits Asma` bintu Yazid bin As- Sakan radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku
mendandani Aisyah radhiyallahu 'anha untuk dipertemukan dengan suaminya,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk
di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum
darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun
menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.”
(HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad
yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian
depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi
seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang
ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala, mendoakan keberkahan dan
mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa
yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah
dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat
bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin
Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus
budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di
antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu 'anhum.
Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang
menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka
menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam
keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau
masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya.
Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
ADAT : MUNGGAH
Acara persiapan di hari Munggah oleh pihak wanita, biasanya yang
pegang peranan adalah wanita-wanita, yang dilakukan laki-laki hanyalah acara
Ngarak dan kadang-kadang tahlil atau membaca Surah Yasin. Di ruangan rumah
wanita biasanya ditempatkan duduk pengantin (puade). Disini mereka melakukan
banyak acara, mulai dari menerima gegawaan, pengantin wanita tamat ngaji, mapak
penganten lanang, duduk bersanding, cacap-cacapan dan suap-suapan.
SYARIAT : WALIMATUL URSY
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah
menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang
mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu ketika mengabarkan kepada
beliau bahwa dirinya telah menikah:
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya
menyembelih seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Bagi orang yang punya kelapangan tentunya,
sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap
orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan
yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah
tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam
hadits Anas radhiyallahu 'anhu disebutkan:
“Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang
seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing
untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah
dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai
berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul,
karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas
bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu 'anha dan beliau jadikan kemerdekaan
Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan
Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada
dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
ADAT : NYANJOI
Kegiatan ini dilakukan pada malam sesudah munggah dan nyemputi.
Biasanya dilaksanakan dua kali, yaitu malam pertama muda-mudi, malam kedua
orang tua, demikian juga pada waktu sesudah nyemputi oelh pihak besan
laki-laki.
SYARIAT : HIBURAN
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh
duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang
menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak
akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram
adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896.
Dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman
pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan
tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan
satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah”
dan membawakan hadits Ar- Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu 'anha yang
mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai
kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak- bapak mereka yang terbunuh dalam
perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar
nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya
haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah
pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila
mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan:
‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi
atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam
Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
ADAT : NYEMPUTI / NGUNDUH MANTU
Pada hari Selasa atau dua hari sesudah munggah biasanya dilakukan
cara nyemputi. Pihak laki-laki datang berkunjung ke rumah pihak wanita yang
sudah siap dengan rombongan untuk nganter pengantin. Biasanya dirumah pengantin
laki-laki sudah siap acara keramaian biasa disebut perayaan.
SYARIAT : TIDAK ADA
ADAT : UPACARA KERAMASAN DAN MANDI SIMBURAN
Beberapa hari setelah dilakukan pengantaran banking (peti pakaian
pengantin laki-laki) dilakukan upacara adat keramasan dan mandi simburan di
rumah pengantin perempuan yang mana mempelai memohon do’a restu untuk hidup
sebagai suami istri.
Maksud mandi simburan yaitu membersihkan segala dosa yang diperbuat
selama ini. Sebagai penutup upacara maka pada esok hari sesudahnya sebaiknya
dilakukan upacara Tepung Tawar.
SYARIAT : TIDAK ADA
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu
jodoh dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan oleh-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS. Ar-Ruum : 21)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari
agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia
dalam Islam. Ia bukan sekadar lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”.
Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim
menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan
hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya,
dst.
Nilai kemuliaan atau kesakralan
pernikahan dalam Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga
beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau
coba-coba layaknya pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus untuk berumah
tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala diringi dengan
kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya.
Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa
malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.
Islam juga mengatur proses
walimah atau resepsi pernikahan yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan
diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhi adat, tidak pula kental dengan
tradisi Barat. Walimah dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga
menuntut sahibul hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya.
Walimah nikah juga tidaklah
dimaknai sebagai acara jual beli yang memperhitungkan untung rugi atau
minimalnya “balik modal”, sebagaimana hal ini tecermin dalam budaya amplop.
Sehingga yang diundang tidak dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”,
atau bahkan yang “tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah
“yang penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.”
Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyebut makanan dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang
kaya sebagai sejelek-jelek makanan.
* * *
Compiled
by Cek Noer
Palembang,
3 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar