Jumat, 19 Juni 2015

Bencana Dibalik Prostitusi



Akhir-akhir ini negeri kita dihebohkan dengan berita tentang praktik prostitusi online dan prostitusi artis. Sebuah berita yang sangat memilukan bagi sebuah negeri yang dikenal agamis dan normatif ini. Dan yang paling memilukan adalah para penjaja prostitusi online tersebut merupakan remaja putri yang notabenenya berstatus sebagai pelajar. Begitu pula dengan prostitusi artis yang menjajakan dirinya kepada para pelanggan yang berdompet tebal, pengusaha dan pejabat negara pun diisukan menjadi pelanggan tetap mereka.

Kehidupan hedonisme yang semakin merajalela, menjadikan para remaja tergiring untuk dapat menikmati hidup yang enak dengan cara yang instan. Dan akhirnya tanpa berpikir panjang, mereka rela menjual kehormatan mereka demi materi yang tidak seberapa.

Disamping itu, upaya pemerintah untuk memberantas lokalisasi tidak mendapat dukungan dari semua pihak. Hal ini karena masih banyaknya dampak negatif yang terjadi apabila lokalisasi tersebut ditutup. Salah satunya yaitu semakin maraknya prostitusi online yang malah tidak bisa dijangkau oleh pemerintah. Bagai buah simalakama, karena sampai saat ini belum ada hukum yang ampuh untuk menghentikan praktik prostitusi tersebut.

Misalnya didalam kitab KUHP warisan Belanda, hukum perzinahan hanya diberikan kepada pelaku pemerkosaan, namun hukum ini tidak berlaku pada praktik perzinahan atas dasar suka sama suka. Alhasil, penjual dan pelanggan tidak mendapatkan sanksi pidana maupun perdata, sehingga mereka bisa melalang buana kemana saja, hanya saja sanksi sosial yang harus mereka terima jika masyarakat mengetahui perbuatan yang telah mereka lakukan.

Berbeda dengan salah satu Provinsi di ujung barat Indonesia. Provinsi yang memiliki hak istimewa / otonomi daerahnya tersendiri, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan julukan serambi Mekah, menjadikan Provinsi ini dapat menegakkan Syariat Islam dalam pemerintahannya. Berapa kali kita saksikan, hukuman cambukan dan rajam diberikan aparat kepada para pelaku perzinahan.

Dibalik sebuah prostitusi, ada sebuah epidemi yang mengancam kehidupan mereka. Bahkan epidemi ini tidak hanya mengancam mereka, sebagai pelaku seks bebas. Epidemi ini pun dapat mengancam orang-orang yang berada disekitar kita. HIV/AIDS merupakan sebuah wabah yang sangat erat dengan perilaku seks bebas. Dimana virus ini dapat menular melalui sperma, dinding anus, cairan vagina, dan darah menstruasi.

Untuk membendung penularan virus HIV/AIDS, pemerintah melalui sebuah lembaga yang bernama Komisi Penanggulangan Aids berupaya untuk melakukan edukasi dan pencegahan kepada orang-orang yang beresiko tinggi tertular virus tersebut. Salah satunya kepada para PSK yang berada di lokalisasi. KPA melakukan vaksinasi dan memberikan alat kontasepsi agar para PSK tidak tertular dan menularkan penyakit kepada pelanggannya.

Namun apalah daya, walaupun KPA sudah berupaya keras untuk membendung kasus ini. Tetapi setiap tahun pengidap HIV/AIDS semakin meningkat, mengingat penularan virus ini tidak hanya terjadi karena hubungan seksual. Sebab-sebab lain diantaranya, penggunaan narkotika dengan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, cabut gigi, cukur rambut, dan bekam. Bukan berarti semua tindakan tersebut dilarang melainkan ketidak sterilan peralatan yang digunakan sehingga virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui cairan luka.

Ironisnya, penderita perempuan yang paling banyak terinfeksi HIV/AIDS  adalah ibu rumah tangga. Mereka tertular dari  suaminya yang ternyata terbiasa melakukan hubungan  seks berisiko selain dengan pasangannya sendiri (istri).  Kenapa ibu rumah tangga lebih beresiko terinfeksi HIV/AIDS daripada PSK? Karena PSK selalu mewajibkan pelanggannya untuk menggunakan alat pengaman, sedangkan ibu rumah tangga tidak mengetahui bahwa suaminya telah terinfeksi virus tersebut. Dan lebih parahnya lagi, tanpa disadari, janin yang dikandung si ibu rumah tangga tersebut juga terinfeksi HIV/AIDS dari ayahnya.

Nasi sudah menjadi bubur, malang  tidak dapat ditolak. Hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat mematikan virus HIV/AIDS tersebut. Namun penderita dapat meminum obat yang dapat menghambat perkembangan virus tersebut. Obat tersebut memang harus diminum seumur hidupnya, karena jika tidak virus tersebut akan berkembang menjadi AIDS yang mematikan. Ada sebagian pengidap yang merasakan jenuh untuk meminum obat tersebut, sehingga mereka berhenti meminumnya dan akhirnya virus HIV merusak organ tubuhnya, terjadi komplikasi, akhirnya mengalami AIDS.

Penularan HIV/AIDS tidak semudah penularan flu/batuk/cacar. Jika tidak terjadi pertukaran cairan dan darah maka virus ini tidak akan menular. Hanya sekedar berjabat tangan, berpelukan, dan memakai handuk bersama tidak otomatis tertular virus HIV, kecuali ada luka terbuka yang saling bersentuhan, maka virus ini bisa otomatis masuk ke tubuh yang lain.

Namun, stigma negatif di kalangan masyarakat yang mendiskriminasi para pengidap HIV/AIDS, membuat mereka semakin berputus asa dan akhirnya mereka memilih lebih baik mati daripada hidup tiada berguna. Itulah mengapa banyak yang berhenti meminum obat karena ketika masyarakat sudah mengetahui mereka pengidap HIV/AIDS, mereka tidak diberikan tempat yang layak sebagaimana orang-orang pada umumnya.

Jika kasus ini tidak segera ditanggulangi, maka ia akan menjadi fenomena gunung es yang suatu saat akan menjadi bencana besar bagi negeri ini.


Cek Noer
Palembang, 19 Juni 2015

Dibalik Sampah




Di tengah siang yang menyengat, tiba-tiba saya menyaksikan seulur tangan keluar dari jendela sebuah mobil mewah yang berada beberapa meter di depan saya. Namun yang tampak bukanlah lambaian dari dalam mobil, melainkan tangan yang sedang menggenggam sampah yang siap dilempar ke luar. Yah, akhirnya sampah tersebut terserak di tengah mulusnya jalanan ibu kota. Ini bukanlah kejadian pertama kali yang saya saksikan, hingga saya khawatir sampah yang dilempar tersebut bisa mengenai kendaraan yang berada di belakangnya.

Wajar, jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan rendah. Aneh, jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Namun sekarang coba kita pikirkan orang seperti apakah yang biasanya berada di sebuah mobil mewah?. Mungkin sebagian orang berpikir, itu bukanlah perkara yang besar, toh nantinya akan ada para petugas kebersihan jalan. 

Mobil Mewah Penyebar Sampah

Namun disini saya tidak akan membahas masalah bersih atau kotor, tapi tentang sebuah penghargaan. Perhargaan terhadap diri sendri dan penghargaan terhadap orang lain. Jika kita menghargai diri sendiri, tentu kita akan merasa malu, bagaimana mungkin seseorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi tidak tahu kemana seharusnya membuang sampah. Dan jika kita menghargai orang lain, tentu kita menyadari betapa lelahnya mereka ‘para petugas kebersihan’ menyapu jalan yang berkilo-kilo meter demi sesuap nasi.

Yap, memang tidak semua, hanya oknum. Tapi jika semua oknum dikumpulkan menjadi satu, bukankah itu menjadi sebuah komunitas. Komunitas penyebar sampah di jalanan ibu kota. Lalu apa arti sebuah PerDa? Dan akhirnya aparat pun saling melempar tanggung jawab siapa yang paling berkewajiban untuk merentas masalah ‘sosial’ seperti ini. Pada saat yang sama sikap apatisme semakin menjangkit di lingkungan masyarakat kita. Sehingga predikat menjadi kota bersih yang digadang-gadangkan selama ini tidak lebih hanyalah sebuah wacana tanpa realita. ***





Di sepertiga malam pertama, saya menyaksikan sebuah mobil truk yang membawa segerombolan pasukan berseragam. Namun mereka bukanlah pasukan Pol-PP yang siap menyisir ‘sampah masyarakat’ untuk di angkut ke Dinas Sosial, melainkan mereka akan menyisir sampah masyarakat untuk dibawa ke TPA. Mereka, pasukan berseragam kuning lengkap dengan senjata pamungkas. Merubah kekotoran malam menjadi pagi yang indah. Pernah saya melintasi sebuah pasar yang pada malam harinya penuh dengan tumpukan sampah, dan keesokan paginya saya kembali melintasi pasar tersebut, begitu kagetnya saya ternyata tumpukan sampah tersebut telah hilang. Setelah saya selidiki, ternyata ada ‘tangan-tangan kasar’ yang telah mempermak wajah pasar tersebut dalam satu malam, tidak lain karena ulah para pasukan berseragam kuning tersebut.

Malam menjadi siang dan siang tetaplah siang. Itulah ungkapan yang tepat bagi para petugas kebersihan tersebut. Siang malam bekerja demi sesuap nasi, keringat yang mengucur, kulit yang legam karena sengatan matahari, tidak menciutkan nyali mereka untuk terus ‘berkarya’ di jalan raya. Namun di lain sisi, ‘tangan-tangan nakal’ terus saja melemparkan sampah tanpa rasa bersalah. Andai kita mau menyadari untuk sedikit saja mengurangi beban mereka, menarik diri untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tentu mereka akan merasa lebih bahagia, walaupun mereka harus tetap membersihkan daun-daun kering di pinggir jalan. Sekali lagi, ini bukan perkara bersih dan kotor, tapi sebuah penghargaan. Penghargaan kepada diri sendiri dan perhargaan kepada orang lain.


Warning, buanglah sampah pada tempatnya!!

Cek Noer
Palembang, 19 Juni 2015