Di
tengah siang yang menyengat, tiba-tiba saya menyaksikan seulur tangan keluar
dari jendela sebuah mobil mewah yang berada beberapa meter di depan saya. Namun
yang tampak bukanlah lambaian dari dalam mobil, melainkan tangan yang sedang
menggenggam sampah yang siap dilempar ke luar. Yah, akhirnya sampah tersebut
terserak di tengah mulusnya jalanan ibu kota. Ini bukanlah kejadian pertama
kali yang saya saksikan, hingga saya khawatir sampah yang dilempar tersebut
bisa mengenai kendaraan yang berada di belakangnya.
Wajar,
jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan rendah.
Aneh, jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan
tinggi. Namun sekarang coba kita pikirkan orang seperti apakah yang biasanya
berada di sebuah mobil mewah?. Mungkin sebagian orang berpikir, itu bukanlah
perkara yang besar, toh nantinya akan ada para petugas kebersihan jalan.
Mobil Mewah Penyebar Sampah |
Namun
disini saya tidak akan membahas masalah bersih atau kotor, tapi tentang sebuah
penghargaan. Perhargaan terhadap diri sendri dan penghargaan terhadap orang
lain. Jika kita menghargai diri sendiri, tentu kita akan merasa malu, bagaimana
mungkin seseorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi tidak tahu kemana
seharusnya membuang sampah. Dan jika kita menghargai orang lain, tentu kita
menyadari betapa lelahnya mereka ‘para petugas kebersihan’ menyapu jalan yang
berkilo-kilo meter demi sesuap nasi.
Yap,
memang tidak semua, hanya oknum. Tapi jika semua oknum dikumpulkan menjadi
satu, bukankah itu menjadi sebuah komunitas. Komunitas penyebar sampah di
jalanan ibu kota. Lalu apa arti sebuah PerDa? Dan akhirnya aparat pun saling
melempar tanggung jawab siapa yang paling berkewajiban untuk merentas masalah
‘sosial’ seperti ini. Pada saat yang sama sikap apatisme semakin menjangkit di
lingkungan masyarakat kita. Sehingga predikat menjadi kota bersih yang
digadang-gadangkan selama ini tidak lebih hanyalah sebuah wacana tanpa realita.
***
Di
sepertiga malam pertama, saya menyaksikan sebuah mobil truk yang membawa segerombolan
pasukan berseragam. Namun mereka bukanlah pasukan Pol-PP yang siap menyisir
‘sampah masyarakat’ untuk di angkut ke Dinas Sosial, melainkan mereka akan
menyisir sampah masyarakat untuk dibawa ke TPA. Mereka, pasukan berseragam
kuning lengkap dengan senjata pamungkas. Merubah kekotoran malam menjadi pagi
yang indah. Pernah saya melintasi sebuah pasar yang pada malam harinya penuh
dengan tumpukan sampah, dan keesokan paginya saya kembali melintasi pasar
tersebut, begitu kagetnya saya ternyata tumpukan sampah tersebut telah hilang.
Setelah saya selidiki, ternyata ada ‘tangan-tangan kasar’ yang telah mempermak
wajah pasar tersebut dalam satu malam, tidak lain karena ulah para pasukan
berseragam kuning tersebut.
Malam
menjadi siang dan siang tetaplah siang. Itulah ungkapan yang tepat bagi para
petugas kebersihan tersebut. Siang malam bekerja demi sesuap nasi, keringat
yang mengucur, kulit yang legam karena sengatan matahari, tidak menciutkan
nyali mereka untuk terus ‘berkarya’ di jalan raya. Namun di lain sisi,
‘tangan-tangan nakal’ terus saja melemparkan sampah tanpa rasa bersalah. Andai
kita mau menyadari untuk sedikit saja mengurangi beban mereka, menarik diri
untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tentu mereka akan merasa lebih
bahagia, walaupun mereka harus tetap membersihkan daun-daun kering di pinggir
jalan. Sekali lagi, ini bukan perkara bersih dan kotor, tapi sebuah penghargaan.
Penghargaan kepada diri sendiri dan perhargaan kepada orang lain.
Warning,
buanglah sampah pada tempatnya!!
Cek
Noer
Palembang, 19 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar