Jumat, 19 Juni 2015

Dibalik Sampah




Di tengah siang yang menyengat, tiba-tiba saya menyaksikan seulur tangan keluar dari jendela sebuah mobil mewah yang berada beberapa meter di depan saya. Namun yang tampak bukanlah lambaian dari dalam mobil, melainkan tangan yang sedang menggenggam sampah yang siap dilempar ke luar. Yah, akhirnya sampah tersebut terserak di tengah mulusnya jalanan ibu kota. Ini bukanlah kejadian pertama kali yang saya saksikan, hingga saya khawatir sampah yang dilempar tersebut bisa mengenai kendaraan yang berada di belakangnya.

Wajar, jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan rendah. Aneh, jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Namun sekarang coba kita pikirkan orang seperti apakah yang biasanya berada di sebuah mobil mewah?. Mungkin sebagian orang berpikir, itu bukanlah perkara yang besar, toh nantinya akan ada para petugas kebersihan jalan. 

Mobil Mewah Penyebar Sampah

Namun disini saya tidak akan membahas masalah bersih atau kotor, tapi tentang sebuah penghargaan. Perhargaan terhadap diri sendri dan penghargaan terhadap orang lain. Jika kita menghargai diri sendiri, tentu kita akan merasa malu, bagaimana mungkin seseorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi tidak tahu kemana seharusnya membuang sampah. Dan jika kita menghargai orang lain, tentu kita menyadari betapa lelahnya mereka ‘para petugas kebersihan’ menyapu jalan yang berkilo-kilo meter demi sesuap nasi.

Yap, memang tidak semua, hanya oknum. Tapi jika semua oknum dikumpulkan menjadi satu, bukankah itu menjadi sebuah komunitas. Komunitas penyebar sampah di jalanan ibu kota. Lalu apa arti sebuah PerDa? Dan akhirnya aparat pun saling melempar tanggung jawab siapa yang paling berkewajiban untuk merentas masalah ‘sosial’ seperti ini. Pada saat yang sama sikap apatisme semakin menjangkit di lingkungan masyarakat kita. Sehingga predikat menjadi kota bersih yang digadang-gadangkan selama ini tidak lebih hanyalah sebuah wacana tanpa realita. ***





Di sepertiga malam pertama, saya menyaksikan sebuah mobil truk yang membawa segerombolan pasukan berseragam. Namun mereka bukanlah pasukan Pol-PP yang siap menyisir ‘sampah masyarakat’ untuk di angkut ke Dinas Sosial, melainkan mereka akan menyisir sampah masyarakat untuk dibawa ke TPA. Mereka, pasukan berseragam kuning lengkap dengan senjata pamungkas. Merubah kekotoran malam menjadi pagi yang indah. Pernah saya melintasi sebuah pasar yang pada malam harinya penuh dengan tumpukan sampah, dan keesokan paginya saya kembali melintasi pasar tersebut, begitu kagetnya saya ternyata tumpukan sampah tersebut telah hilang. Setelah saya selidiki, ternyata ada ‘tangan-tangan kasar’ yang telah mempermak wajah pasar tersebut dalam satu malam, tidak lain karena ulah para pasukan berseragam kuning tersebut.

Malam menjadi siang dan siang tetaplah siang. Itulah ungkapan yang tepat bagi para petugas kebersihan tersebut. Siang malam bekerja demi sesuap nasi, keringat yang mengucur, kulit yang legam karena sengatan matahari, tidak menciutkan nyali mereka untuk terus ‘berkarya’ di jalan raya. Namun di lain sisi, ‘tangan-tangan nakal’ terus saja melemparkan sampah tanpa rasa bersalah. Andai kita mau menyadari untuk sedikit saja mengurangi beban mereka, menarik diri untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tentu mereka akan merasa lebih bahagia, walaupun mereka harus tetap membersihkan daun-daun kering di pinggir jalan. Sekali lagi, ini bukan perkara bersih dan kotor, tapi sebuah penghargaan. Penghargaan kepada diri sendiri dan perhargaan kepada orang lain.


Warning, buanglah sampah pada tempatnya!!

Cek Noer
Palembang, 19 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar