Akhir-akhir ini negeri kita
dihebohkan dengan berita tentang praktik prostitusi online dan prostitusi
artis. Sebuah berita yang sangat memilukan bagi sebuah negeri yang dikenal
agamis dan normatif ini. Dan yang paling memilukan adalah para penjaja
prostitusi online tersebut merupakan remaja putri yang notabenenya berstatus
sebagai pelajar. Begitu pula dengan prostitusi artis yang menjajakan dirinya
kepada para pelanggan yang berdompet tebal, pengusaha dan pejabat negara pun diisukan
menjadi pelanggan tetap mereka.
Kehidupan hedonisme yang semakin
merajalela, menjadikan para remaja tergiring untuk dapat menikmati hidup yang
enak dengan cara yang instan. Dan akhirnya tanpa berpikir panjang, mereka rela
menjual kehormatan mereka demi materi yang tidak seberapa.
Disamping itu, upaya pemerintah
untuk memberantas lokalisasi tidak mendapat dukungan dari semua pihak. Hal ini
karena masih banyaknya dampak negatif yang terjadi apabila lokalisasi tersebut
ditutup. Salah satunya yaitu semakin maraknya prostitusi online yang malah
tidak bisa dijangkau oleh pemerintah. Bagai buah simalakama, karena sampai saat
ini belum ada hukum yang ampuh untuk menghentikan praktik prostitusi tersebut.
Misalnya didalam kitab KUHP
warisan Belanda, hukum perzinahan hanya diberikan kepada pelaku pemerkosaan, namun
hukum ini tidak berlaku pada praktik perzinahan atas dasar suka sama suka. Alhasil,
penjual dan pelanggan tidak mendapatkan sanksi pidana maupun perdata, sehingga
mereka bisa melalang buana kemana saja, hanya saja sanksi sosial yang harus
mereka terima jika masyarakat mengetahui perbuatan yang telah mereka lakukan.
Berbeda dengan salah satu
Provinsi di ujung barat Indonesia. Provinsi yang memiliki hak istimewa /
otonomi daerahnya tersendiri, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan julukan serambi
Mekah, menjadikan Provinsi ini dapat menegakkan Syariat Islam dalam
pemerintahannya. Berapa kali kita saksikan, hukuman cambukan dan rajam
diberikan aparat kepada para pelaku perzinahan.
Dibalik sebuah prostitusi, ada
sebuah epidemi yang mengancam kehidupan mereka. Bahkan epidemi ini tidak hanya
mengancam mereka, sebagai pelaku seks bebas. Epidemi ini pun dapat mengancam
orang-orang yang berada disekitar kita. HIV/AIDS merupakan sebuah wabah yang
sangat erat dengan perilaku seks bebas. Dimana virus ini dapat menular melalui
sperma, dinding anus, cairan vagina, dan darah menstruasi.
Untuk membendung penularan virus
HIV/AIDS, pemerintah melalui sebuah lembaga yang bernama Komisi Penanggulangan
Aids berupaya untuk melakukan edukasi dan pencegahan kepada orang-orang yang
beresiko tinggi tertular virus tersebut. Salah satunya kepada para PSK yang
berada di lokalisasi. KPA melakukan vaksinasi dan memberikan alat kontasepsi
agar para PSK tidak tertular dan menularkan penyakit kepada pelanggannya.
Namun apalah daya, walaupun KPA
sudah berupaya keras untuk membendung kasus ini. Tetapi setiap tahun pengidap
HIV/AIDS semakin meningkat, mengingat penularan virus ini tidak hanya terjadi
karena hubungan seksual. Sebab-sebab lain diantaranya, penggunaan narkotika
dengan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah, cabut gigi, cukur
rambut, dan bekam. Bukan berarti semua tindakan tersebut dilarang melainkan ketidak
sterilan peralatan yang digunakan sehingga virus HIV masuk ke dalam tubuh
manusia melalui cairan luka.
Ironisnya, penderita perempuan yang paling
banyak terinfeksi HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga. Mereka tertular
dari suaminya yang ternyata terbiasa melakukan hubungan seks
berisiko selain dengan pasangannya sendiri (istri). Kenapa ibu rumah tangga lebih beresiko terinfeksi
HIV/AIDS daripada PSK? Karena PSK selalu mewajibkan pelanggannya untuk
menggunakan alat pengaman, sedangkan ibu rumah tangga tidak mengetahui bahwa
suaminya telah terinfeksi virus tersebut. Dan lebih parahnya lagi, tanpa
disadari, janin yang dikandung si ibu rumah tangga tersebut juga terinfeksi
HIV/AIDS dari ayahnya.
Nasi sudah menjadi bubur, malang tidak dapat ditolak. Hingga saat ini belum
ditemukan obat yang dapat mematikan virus HIV/AIDS tersebut. Namun penderita
dapat meminum obat yang dapat menghambat perkembangan virus tersebut. Obat
tersebut memang harus diminum seumur hidupnya, karena jika tidak virus tersebut
akan berkembang menjadi AIDS yang mematikan. Ada sebagian pengidap yang
merasakan jenuh untuk meminum obat tersebut, sehingga mereka berhenti
meminumnya dan akhirnya virus HIV merusak organ tubuhnya, terjadi komplikasi,
akhirnya mengalami AIDS.
Penularan HIV/AIDS tidak semudah
penularan flu/batuk/cacar. Jika tidak terjadi pertukaran cairan dan darah maka
virus ini tidak akan menular. Hanya sekedar berjabat tangan, berpelukan, dan
memakai handuk bersama tidak otomatis tertular virus HIV, kecuali ada luka
terbuka yang saling bersentuhan, maka virus ini bisa otomatis masuk ke tubuh
yang lain.
Namun, stigma negatif di kalangan
masyarakat yang mendiskriminasi para pengidap HIV/AIDS, membuat mereka semakin
berputus asa dan akhirnya mereka memilih lebih baik mati daripada hidup tiada
berguna. Itulah mengapa banyak yang berhenti meminum obat karena ketika
masyarakat sudah mengetahui mereka pengidap HIV/AIDS, mereka tidak diberikan
tempat yang layak sebagaimana orang-orang pada umumnya.
Jika kasus ini tidak segera
ditanggulangi, maka ia akan menjadi fenomena gunung es yang suatu saat akan
menjadi bencana besar bagi negeri ini.
Cek Noer
Palembang, 19 Juni 2015